Halo Sobat Nuklir!
Ditulis oleh :
Aldino Bagaskara
Kommun Semarang
Radiofarmaka merupakan obat yang dibuat dengan formulasi unik yang mengandung
radioisotop yang digunakan dalam bidang kesehatan seperti untuk diagnosis dan terapi.
Penggunaan radiofarmaka sama halnya dengan penggunaan obat biasa. Rute pemberian
radiofarmaka yang umum adalah melalui jalur intravena, tetapi bisa pula diberikan melalui rute
pemberian lain seperti melalui oral, subkutan, disuntikan melalui sendi atau bahkan inhalasi (WHO,2008).
Setiap radiofarmaka
yang dibuat memiliki kegunaan yang berbeda, namun pada umumnya radiofarmaka diaplikasikan
untuk :
1. Diagnosis yang dilakukan pada tubuh dengan memberikan sediaan radiofarmaka secara oral maupun parenteral.
2. Diagnosis yang
dilakukan pada spesimen
yang dihasilkan
oleh tubuh (feses, urin).
3. Terapi penyakit melalui radiasi yang
dihasilkan (Mashjur,
2000).
Mekanisme kerja radiofarmaka yang digunakan untuk diagnosis dilihat dari sebaran radiofarmaka tersebut di dalam tubuh. Radiofarmaka yang telah mencapai organ yang spesifik akan mengeluarkan energi emisi. Energi emisi yang dikeluarkan akan terdeteksi oleh suatu alat diagnosis seperti kamera gamma, Positron Emission Tomography (PET), atau Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT) (Levita dan Mutakin, 2015).
Dalam membedakan cara
mengaplikasikan radiofarmaka dilihat dari radioisotop yang digunakannya. Radioisotop adalah atom yang terdiri
dari kombinasi yang tidak stabil
antara neutron dan proton. Kombinasi yang tidak stabil antara
neutron
dan
proton bisa terjadi secara
alamiah ataupun mengubah atom secara
buatan menggunakan reaktor yang disebut dengan
siklotron (ANSTO,
2006).
Radioisotop yang terjadi secara
alamiah memiliki harga
yang lebih mahal dikarenakan proses pemurnian
yang cukup sulit. Isotop yang digunakan bersifat tidak stabil sehingga isotop
tersebut akan berusaha menuju bentuk yang stabilnya dengan cara memancarkan energi radioaktifnya
atau biasa yang dikenal dengan kata peluruhan. Proses peluruhan radioaktif dari
setiap jenis radioisotop yang digunakan itu memiliki perbedaan (ANSTO, 2006).
Karakteristik dari radioisotop yang digunakan pada suatu radiofarmaka akan mempengaruhi tujuan penggunaan radiofarmaka tersebut. Karakteristik yang dilihat pada
review ini meliputi waktu paruh, gelombang emisi yang dipancarkannya, serta
karakteristik
khusus lainnya yang dimiliki pada masing-masing
radiostop. Radioisotop yang banyak digunakan dalam bidang pengobatan diantaranya Teknesium-99m, Iodium-131, Iodium-123,
Indium-111, Galium-68, Flour-18 dan
Rhenium-186
atau Rhenium188 (Nurlaila, 2007).
Teknesium-99m merupakan radioisotop yang
paling
banyak digunakan di dunia. Teknesium-99m mudah untuk didapatkan karena generator yang
memproduksi radioisotop tersebut mudah untuk dibawa kemana-mana. Radiofarmaka dengan radioisotop Teknesium-
99m dapat dikembangkan dalam bentuk kit sehingga
dapat mempermudah dalam preparasi.
Karakteristik
yang menjadikan teknesium banyak digunakan untuk
bidang pengobatan karena
memiliki waktu paruh 6 jam dengan memancarkan emisi gamma dengan energi 140 keV untuk
mencapai kestabilannya. Emisi sinar gamma pada saat peluruhan merupakan sifat yang ideal untuk
dilakukan pencitraan menggunakan kamera
gamma
yang sederhana atau digunakan
dalam scintigraphy planar serta dalam Single Photon
Emission Tomography (SPECT)
(Papagiannopoulou, 2017).
Teknesium-99m memiliki beragam bentuk kompleks sehingga radiofarmaka dengan
radioisotop ini banyak dikembangkan. Alasan teknesium memiliki beragam bentuk kompleks
karena teknesium termasuk ke dalam unsur pada golongan
VII dengan beragam bilangan oksidasi dari -1 hingga 7. Bentuk kompleks dari teknesium diantaranya teknesium VII complexes, technesium V
complexes, technesium Hydrazinopyridine complexes, serta organometallic
technesium complexes (Papagiannopoulou, 2017).
Untuk radioisotop Iodium terdapat dalam 2 bentuk dengan massa atom yang berbeda.
Perbedaan tersebut terjadi karena
perbedaan proses pembuatan radioisotop Iodin. Iodium-123
dibuat menggunakan siklotron sedangkan Iodium-131
dibuat menggunakan reaktor
melalui reaksi fisi 235U atau reaksi
(n,γ) (Coenen, et
al., 2006).
Karakteristik pada kedua bentuk radioisotop Iodin ini memiliki perbedaan. Iodium-131 merupakan radioisotop yang dapat diaplikasikan untuk diagnosis dan
terapi. Terapi dapat dilakukan dengan Iodium-131 dikarenakan mengemisikan sinar beta. Emisi sinar beta pada
Iodium131 dapat menghancurkan folikel sel tiroid, sehingga digunakan untuk pengobatan pada penderita kanker
tiroid. Diagnosis
dapat ditegakkan melalui Iodium-131 dikarenakan
radioisotop ini memancarkan sinar gamma. Namun, dalam dosis yang tinggi bisa mengakibatkan efek yang
membahayakan untuk jaringan. Untuk
mengurangi pengaruh
tersebut maka dosis pemberiannya dikurangi yang menyebabkan kurang sensitif dalam
diagnosisnya (Alzahrani, et al., 2001). Waktu paruh 8 hari menyebabkan radiasi yang lama sehingga bisa membahayakan keluarga
pasien juga tenaga kesehatan. Oleh karena
itu,
pasien harus dalam ruang yang
terisolasi
(Govindan and Goldenberg, 2010). Iodium-131
sudah biasa digunakan tanpa disertai dengan
molekul
pembawa (Chung and Cheon,
2014).
Radioisotop Iodium–123
adalah radioisotop
yang cocok untuk
diagnosis, dikarenakan memancar emisi
gamma yang
ideal untuk dideteksi menggunakan kamera gamma.
Selain
itu, memiliki waktu paruh yang lebih sebentar dibandingkan dengan iodium-131 membuat radioisotop ini
lebih cepat untuk dikeluarkan dari tubuh. Radioisotop Iodium-123 adalah agen pendeteksi yang sangat baik pada
pasien differentiated thyroid cancer (DTC)
daripada penggunaan Iodium-131 (Alzahrani, et al., 2001). Iodium-123 bisa digunakan untuk penandaan pada protein
atau
peptida (Nurlaila,
2007).
Radioisotop Galium-68 banyak digunakan dalam Positron Emission Tomography (PET)
/pemeriksaan penggambaran medis di rumah sakit. Galium-68 bisa diproduksi dalam generator basah yang kecil sehingga cepat diproduksi dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan radioisotop yang lain. Galium-68 memiliki waktu paruh yang rendah sehingga cocok untuk digunakan pada manusia dengan efek radiasi yang lebih kecil. Memiliki sifat alami trivalen yang membuat cocok untuk dilakukan pelabelan protein dan peptida dengan komponen 1,4,7,10- tetraazacyclododecane-1,4,7,10-tetraacetic acid (DOTA) (Aslani, et al., 2014).
Radioisotop
Indium-111 banyak digunakan untuk
diagnosis.
Hal tersebut
sesuai dengan karakteristiknya yang memancarkan emisi gamma. Indium-111 biasa
digunakan untuk menandai suatu antibodi. Karakteristik yang dimiliki oleh
Indium-111 mengharuskan
dalam penandaan antibodi menggunakan senyawa
khelat bifungsi. Khelat bifungsi yang digunakan
harus mudah disintesis,
stabil, serta dapat digunakan dengan metode
yang sederhana (Nurlaila,
2007). Penggunaan Indium-111 dalam radiofarmaka jarang digunakan dikarenakan harganya
yang relatif mahal, untuk mengatasi masalah tersebut dibuat radiofarmaka menggunakan
radioisotop teknesium-99m
(Decristoforo et
al., 2007).
Selain Iodium, Rhenium juga memiliki 2
massa atom yang berbeda dengan emisi yang
dipancarkan juga berbeda. Rhenium-186 memancarkan emisi gamma serta beta namun biasa
digunakan untuk pencitraan (diagnosis). Selain itu, Rhenium-186 sulit didapatkan karena reator
penghasil Rhenium-186 tidak spesifik menghasilkan
Rhenium-186 saja melainkan
banyak dihasilkan pula Rhenium-185, sedangkan pada radioisotop Rhenium-188 dihasilkan dengan
generator
dengan sistem yang
sama dengan generator Teknesium-99m (Uccelli, et al., 2017). Rhenium-188 memancarkan emisi beta sehingga bisa diaplikasikan untuk terapi. Rhenium-188 memiliki waktu
paruh yang lebih sebentar dibandingkan
dengan radioisotop
Iodium-131 yang
berfungsi sama yaitu untuk diagnosis dan terapi. Selain itu pula, Rhenium-188 memiliki energi
yang lebih kecil dibandingkan Iodium-131 sehingga
dijadikan
sebagai radioisotop pengemisi yang ideal. Rhenium bisa
digunakan untuk deteksi dan terapi pada tumor dengan hasil yang spesifik. Rhenium ini bahkan bisa mengobati glioma
tepatnya pada sel U87-hNIS baik secara invitro maupun invivo. Namun, tidak digunakan untuk deteksi dan terapi pada kelenjar tiroid karena Rhenium-188 akan tertahan di kelenjar
tiroid yang menyebabkan organ tersebut tidak bisa terorganifikasi (Guo, et al., 2014).
Rhenium-188 merupakan suatu metal yang sulit untuk berikatan dengan protein atau
peptida sehingga membutuhkan
sejenis ligand yang memiliki gugus
fungsi ganda sebagai penghubungan radioisotop dengan substrat atau menggunakan metode
khusus (Soenarjo, 2014).
Karakteristik dari jenis radioisotop mempengaruhi tujuan penggunakan radiofarmaka. Radioisotop yang memancarkan emisi gamma secara umum bisa digunakan untuk diagnosis sedangkan radioisotop yang memancarkan emisi beta umum digunakan untuk terapi. Radioisotop dengan waktu paruh yang tidak terlalu lama ideal untuk digunakan karena efek radiasi yang ditimbulkan tidak terlalu besar. Sifat metal dan non metal pada radioisotop mempengaruhi metode penandaan pada protein atau peptida.
Referensi
Alzahrani, A.S., Bakheet, S., Mandil, M.A., et al. 2001. 123I isotope as a diagnostic agent in the follow-up of patient with differentiated thyroid cancer comparison with post 131I therapy whole-body scanning. J Clin Endocrinol Metab, 86: 5194–5300.
ANSTO. 2006. Radioisotopes: their role in society today [online]. Available athttp://www.ansto.gov.au/ data/assets/pdf_file/0018/3564/Radioisotopes.pdf (verified13 June 2018)
Aslani, A., Snowdon G.M., Bailey, D.L., et al. 2014. Gallium-68 DODATE production with automated PET radiopharmaceutical synthesis system: a three-year experience. AsiaOcean Journal of Nuclear Medicine & Biology, 2: 75–86.
Choenen Coenen, H. H., Mertens, J., and Maziere, B. 2006. Radioiodination Reactions for radiopharmaceuticals, Compendium for Effective Synthesis Strategies. SpringerDordrecht, The Netherlands..
Chung, J.K. and GJ Cheon. 2014. Radioiodine therapy in differentiated thyroid cancer: The first targeted therapy in oncology. Endocrinol Metab, 29: 233–239.
Decristoforo, C., Knopp, R., Guggenberg, E.V., et al. 2007. Nucl Med Commun, 28: 870–875.
Guo, R., Zhang, M., Xu, Y., et al. 2014. Theranostic studies of human sodium iodide symporterimaging and therapy using 188Re : a human glioma study in mice. Plos One, 9: 1–8.
Levita, J. dan Mutakin. 2015. Radioiodinasi pada Pembuatan Radiofarmaka. Yogyakarta: Deepublish. 4p.
Masjhur, J.S. 2000. Aplikasi teknik nuklir dalam kesehatan masa kini. Jurnal Sains dan TeknologiNuklir Indonesia, 1: 29–42.
Nurlaila. 2002. Radiofarmaka Peptida untuk diagnosis dan terapi. Maj Kedokt Indonesia, 57:265-273.
Papagiannopoulou, D. 2017. Technetium99m radiochemistry for pharmaceutical applications.J Labelled Comp. Radiopharm, 60: 502–520.
Soenarjo, S. 2014. Mekanisme lokalisasi sediaan radiofarmaka pada organ target. JurnalRadioisotop dan Radiofarmaka, 17: 15–26.
Uccelli, L., Martini, P., Pasquali, M., et al. 2017. Monoclonal antibodies radiolabeling withRhenium-188 for radioimmunotherapy. Biomed Research International: 1–7.
World Health Organization. 2008. Radiopharmaceutical [online]. Available athttp://www.who.int/medicines/publications/pharmacopoeia/Radgenmono.pdf (verified12 June 2018)
Posting Komentar